|  | 
| @visitbogor.com | 
Hampir secara umum penduduk Bogor 
mempunyai keyakinan bahwa Kota Bogor mempunyai hubungan lokatif dengan 
Kota Pakuan, ibukota Pajajaran. Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam
 berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari 
sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu:
Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). 
Dalam naskah berbahasa Sunda Kuna ini diterangkan bahwa nama Pakuan 
Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon 
Pakujajar.
K.F. Holle (1869). Dalam tulisan 
berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle 
menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, 
beserta sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan 
pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan 
kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku 
yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").
G.P. Rouffaer (1919) dalam 
Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan 
mengandung pengertian "paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat" 
(spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar 
Paku Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan 
"Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau 
"imbangan" (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar 
atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan 
arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa 
Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri 
sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan
 Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 
1433.
R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam 
tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia 
menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno 
"pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada 
Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan 
"pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan 
Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang 
berjajar"(aanrijen staande hoven).
H. Ten Dam (1957). Sebagai Insinyur 
Pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa 
Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam 
tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar 
Pajajaran), pengertian "Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" 
(tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai 
tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan 
disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya
 masih mempunyai pengertian "paku".
Ia berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah
 nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibukota (hoffstad) yang 
harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjaunya berdasarkan 
keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang 
memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak
 antara Sungai Besar dengan Sungai Tanggerang (disebut juga Ciliwung dan
 Cisadane). Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul 
karena untuk beberapa kilometer Ciliwung dan Cisadane mengalir sejajar. 
Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di 
Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".
Sebutan "Pakuan", "Pajajaran", dan 
"Pakuan Pajajaran" dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 
& 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di 
Bekasi.
Dalam naskah Carita Parahiyangan ada 
kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman 
Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu 
mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan 
Sanghiyang Sri Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat 
tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di 
Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana 
Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah 
gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah 
"kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterunya. "Pakuan" adalah tempat 
tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi 
tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam 
Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang berjajar". Tafsiran tersebut 
lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi 
terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri. Diperkirakan ada lima (5) 
bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, 
Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam 
peristilahan klasik "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah 
nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton 
lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di 
Jayakarta pada masa silam.
Karena nama yang panjang itulah 
mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan 
atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan 
akhirnya menjadi nama negara. Contohnya : Nama keraton Surakarta 
Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama 
ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa 
sehari-hari cukup disebut Yogya.
Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibukota ) 
benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan 
Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibukota kerajaan Sunda itu 
bernama "Dayo" (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari 
perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama "Dayo" 
didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, 
orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan "pakuan") bila 
bermaksud menyebut ibukota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata
 "dayeuh", sedangkan dalam kesusastraan digunakan "pakuan" untuk 
menyebut ibukota kerajaan.
Untuk praktisnya, dalam tulisan 
berikut digunakan "Pakuan" untuk nama ibukota dan "Pajajaran" untuk nama
 negara, seperti kebiasaan masyarakat Jawa Barat sekarang ini.
"http://kotabogor.go.id "
